Blog

Teori Konflik Antar Kelompok

Pengertian dan Teori Konflik Antar Kelompok Menurut Para Ahli – Artikel psikologi ini akan membahas mengenai konflik antar kelompok, pengertian konflik antar-kelompok, teori konflik antar-kelompok, dan cara mengatasi konflik antar-kelompok. Diharapkan melalui artikel ini anda diharapkan mampu memahami sejarah dan sifat alamiah konflik memahami konflik antar kelompok, dan menjelaskan konflik antar kelompok berdasarkan teori konfli,serta mengatasi memahami cara resolusi konflik antar kelompok.

Pengertian Konflik antar Kelompok
DeLamater (2011) memandang konflik antar kelompok dalam dua cara yang berbeda. Pertama, mengacu pada konflik antara kelompok-kelompok yang masing-masing kelompok terorganisir. Sebuah kelompok yang terdiri dari anggota yang berinteraksi satu sama lain, yang didefinisikan dengan baik dalam hubungan peran, dan yang memiliki tujuan atau sasaran yang saling tergantung satu sama lain.

Kedua, konflik antarkelompok juga mengacu pada apa yang mungkin lebih baik digambarkan sebagai konflik antara orang yang tergolong dalam kategori sosial yang berbeda. Meskipun tidak selalu menjadi anggota kelompok yang terorganisir, orang-orang tersebut menganggap diri mereka sebagai anggota dalam kategori sosial yang sama dan terlibat secara emosional. Misalnya, konflik antara anggota kategori etnis atau ras (seperti konflik antara suku Betawi dan suku Madura di Jakarta) dapat dianggap sebagai konflik antarkelompok, meskipun individu yang terlibat mungkin bukan anggota kelompok terorganisir.
image source: estrategiagroup(dot)com

> Baca juga: Pembahasan Dilema Sosial Menurut Para Ahli
Konflik antar kelompok merupakan:
* Sebuah keadaan di mana kelompok-kelompok mengambil tindakan bertentangan (antagonis)antara kelompok satu dengan kelompok lainuntuk mengontrol beberapa hasil akhir yang penting untuk masing-masing kelompok.
* Sebuah ekspresi yang jelas dari ketegangan antara tujuan atau masalah dari satu kelompok terhadap kelompok lain.

Teori konflik: Penjelasan tentang sifat, perkembangan, dan konsekuensi dari konflik sosial. Teori yang paling menonjol telah dikembangkan oleh Karl Marx, Georg Simmel, Lewis Coser, dan lain-lain. Marx berhipotesis bahwa konflik akhirnya akan mengarah pada penggulingan kelompok kekuasaan, mengarah pada tatanan tanpa kelas sosial, masyarakat bebas konflik.Simmel dan Coser berpendapat bahwa bahwa konflik tidak secara inheren buruk dan konflik dapat melayani fungsi penting seperti memperkuat kelompok dalam (in group), meningkatkan kohesivitas kelompok, dan memobilisasi energi dari anggota kelompok (Barker, 1987).

Historical Origins (Akar sejarah Konflik)
Kecenderungan konflik
Kecenderungan konflik pada masyarakat adalah unsur dasar dari sifat manusia (Machiavelli, 1531/1948, 1532/1948, dan Hobbes, 1651/1947).

Kompetisi
Memperebutkan sumber daya: Konflik dan perjuangan mempromosikan keberadaan sosial manusia dengan memastikan bahwa terkuat dari spesies bertahan hidup (Darwin, 1859/1958, Malthus, 1789/1894). Herbert Spencer (1898) mengemukakan bahwa konflik adalah proses alami yang memberikan kontribusi untuk evolusi sosial. William Graham Sumner (1883) mengusulkan bahwa persaingan untuk bertahan hidup disebabkan kemajuan sosial yang positif.
Teori Marxian
Konflik adalah suatu kondisi struktural dasar masyarakat. Konflik merupakan bagian yang melekat dari hubungan manusia. Eksistensi manusia bertentangan satu sama lain. Pikiran dan tindakan manusia terjadi melalui proses dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis.

Kelas:
Pandangan materi masyarakat: aktor manusia menghasilkan dirinya melalui kerja. Dua kelompok mendasar: pekerja dan pemilik. Pemilik mengeksploitasi pekerja. Kekuasaan politik adalah hasil dari kekuatan ekonomi. Tatanan politik: hukum, pendidikan, dan sistem keluarga yang dirancang untuk menguntungkan pemilik, yang mengakibatkan “determinisme ekonomi.” Engels, dan Marx, memandang konflik sosial dalam keluarga, posisi pria dan wanita analog dengan posisi pemilik dan pekerja.

Teori Psikoanalitik Freud dan Konflik
Konflik merupakan kepentingan sifat dasar manusia, tetapi dikelola oleh nurani. Ada kekuatan bawah sadar yang agresif yang berusaha mencari ekspresi. Adanya dorongan tanatos, dorongan untuk melakukan destruksi, merusak diri sendiri, dan agresi.Pentingnya Kekuasaan
* Kekuasaan: kemampuan untuk melaksanakan kehendak sendiri meskipun bertentangan. Hal ini terkait dengan konflik sosial dan tatanan sosial.
* Kekuasaan adalah elemen penting dari eksistensi sosial. Masyarakat, sebagai akibat dari posisi mereka, mengerahkan kekuasaan atas orang lain.
* Kekuasaan dilembagakan dan disahkan: kekuasaan menghasilkan tatanan sosial.

Konflik merupakan kekuatan sosial integratif
* Realitas sosial bersifat dualistis, termasuk angkatan bersenjata yang mempromosikan tatanan sosial dan konflik sosial (Simmel, 1904, 1908/1955).
* Konflikdapat menyatukanorang untuk menentang dan menyerangmusuh bersama.
* Konflikdapatmenjadi kekuatanyang memecah-belah.

Konflik sebagai Skema Kognitif (Analisis Sosial Kognitif Konflik dan Pemutusan Konflik)

Menurut perspektif ini, konflik dipandang sebagai konten yang spesifik pada pengetahuan, atau sebagai skema kognitif tertentu. Konten spesifik pengetahuan yang terkandung dalam skema konflik mengacu pada ketidakcocokan tujuan atau sasaran antar kelompok (intergroup). Sebuah situasi konflik dikatakan terjadi jika setidaknya salah satu pihak menganut skema konflik. Dengan demikian, retensi atau modifikasi dari skema konflik dapat menentukan apakah konflik dipertahankan atau diselesaikan.

Menurut perspektif ini, konflik dipandang sebagai konten yang spesifik pada pengetahuan, atau sebagai skema kognitif tertentu. Konten spesifik pengetahuan yang terkandung dalam skema konflik mengacu pada ketidakcocokan tujuan atau sasaran antara para pihak. Sebuah situasi konflik dikatakan terjadi jika setidaknya salah satu pihak menganut skema konflik. Dengan demikian, retensi atau modifikasi dari skema konflik dapat menentukan apakah konflik dipertahankan atau diselesaikan.

Tiga hal berikut berfungsi untuk mengkarakterisasi pendekatan skematik (Stroebe, Kruglanski, Bar-Tal, Hewstone, 1988):

* Sekali skemata terbentuk, maka skema kognisi memerintah untuk sebagian besar pengkodean informasi, organisasi, dan pengambilan informasi. Dengan demikian, setelah situasi didefinisikan sebagai konflik, bukti yang konsisten akan dikumpulkan untuk mendukung skema ini.
* Kedua, beberapa keyakinan berfungsi sebagai dasar untuk implikasi dan asosiasi yang berbeda yang bervariasi dari individu ke individu lainnya dan dari kelompok ke kelompok lain. Dalam kasus ini, ketidaksesuaian tujuan mungkin berarti hal yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda.
* Ketiga, skematatergantung padavariasi yang besar dalamketersediaandan aksesibilitas. Ketersediaanmengacu padakeberadaandariskematertentu dalamsatukhasanahkognitif, sedangkan aksesibilitasmengacu padakesiapanskemayang ada untuk dapat dimanfaatkan.

Adanya hubungan yang berkonflik antar kelompok-kelompok sosial adalah fitur yang dimiliki masyarakat. Sedangkan beberapa bentuk persaingan antarkelompok (intergroup rivalry) secara sosial dibiarkan dan bahkan didorong atas dasar bahwa mereka mempromosikan loyalitas (kesetiaan) ingroup (misalnya kesebelasan sepak bola) dan melindungi proses demokrasi (partai politik), manifestasi lain konflik sosial dianggap sebagai sangat buruk (Condor dan Brown, 1988).

Banyak teori yang dapat memahami mengapa konflik-konflik antar kelompok terjadi dan menjadi bahasan tersendiri. Beberapa pandangan untuk mengetahui kenapa konflik sosial antar kelompok dapat terjadi.

Teori Dominansi Sosial (Social Dominance Theory)
Banyak teori yang dapat memahami konflik antar kelompok dan bagaimana melihat konflik itu muncul. Untuk awalnya disini mencoba melihat melalui Social Dominance Theory, di dalam Sosial Dominance Theory terdapat hubungan yang masing-masing kelompok memegang status yang berbeda, kelompok yang besar disebut kelompok dominan dan kelompok yang kecil disebut kelompok subordinat.

Perbedaan antar kelompok tidak hanya terjadi karena batasan kognitif, justru lebih besar karena konteks sosial. Dijelaskan pula bahwa dalam Social Dominance Theory terdapat hirarki, maka konflik dan diskriminasi dalam masyarakat merupakan hal yang tidak terhindarkan sebagai konsekuensi dari struktur hirarkhi antar kelompok. Ada hirarkhi yang umum dibuat masyarakat yaitu usia, gender, empty set (ras, partai, agama), status ekonomi dan sosial.

Sidanius dan Pratto (2004) mengatakan bahwa dalam Social Dominance Theory, ketidaksetaraan hirarki sosial berdasarkan kelompok merupakan hasil dari pendistribusian nilai sosial (social value) secara tidak adil kepada kelompok-kelompok masyarakat, baik nilai sosial positif maupun negatif. Ketidaksetaraan distribusi dari nilai sosial ini, pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh ideologi sosial, keyakinan, mitos, dan doktrin religius tertentu sebagai alat pembenaran.

Dalam jurnal Sidasinus dan Pratto (2004) dikatakan bahwa orang yang berstatus kelompok yang tinggi lebih mendukung ketidaksetaraan daripada orang-orang di kelompok berstatus yang rendah. Social Dominance Theory menjelaskan bahwa determinan awal dari segala bentuk dominasi adalah orientasi dominasi sosial.

Orientasi dominasi sosial adalah “Derajat keinginan individu untuk mendukung hirarki sosial berdasarkan kelompok dan dominasi kelompok superior terhadap kelompok inferior”. Sidanius dan Pratto mengatakan bahwa orientasi dominasi sosial merupakan komponen yang paling psikologis dari Social Dominance Theory.

Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory Henry Tajfel dan Turner)
Diluar kepentingan yang bertentangan faktor lain dalam konflik antarkelompok adalah seberapa kuat anggota mengidentifikasi dengan kelompok mereka sendiri. Ketika kepentingan berlawanan, identifikasi kelompok yang kuat dapat meningkatkan konflik antar kelompok.

Meskipun ketika oposisi yang mendasari kepentingan tidak ada, identifikasi kelompok yang kuat dapat, dengan sendirinya menghasilkan perilaku bias terhadap out-kelompok lain (biased behavior toward out-groups) (DeLamater, 2011). Teori ini dimulai dengan asumsi bahwa individu ingin memegang konsep diri yang positif. Menurut pandangan ini, konsep-diri memiliki dua komponen-identitas pribadi dan identitas sosial, meningkatkan evaluasi pada salah satu dari kedua identitas tersebut dapat meningkatkan konsep diri seseorang.

Komponen identitas sosial tergantung pada kelompok atau kategori sosial yang mana seseorang menjadi bagian dalam kelompok, dan evaluasi seseorang dalam kelompok sendiri (ingroup) ditentukan oleh perbandingan dengan kelompok lain. Dengan demikian, identitas sosial positif anggota tergantung pada apakah perbandingan yang dibuat kelompok sendiri dengan kelompok luar secara sesuai menguntungkan atau tidak menguntungkan.

Dikatakan bahwa konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya selama berada dalam kelompok sosial tertentu dengan disertai internalisasi nilai-nilai, emosi, partisipasi, rasa peduli dan bangga sebagai anggota kelompok tersebut (Reicher, 2004). Konsep diri mereka sebagai ingroup berasal dari nilai-nilai, kepercayaan yang mereka yakini dimana mereka menganggap bahwa menentukan jenis kelamin adalah hak setiap orang, para komunitas ini juga berpartisipasi secara emosi, peduli dan bangga, karena mereka merasa memiliki kesamaan dengan anggota kelompoknya.

Identifikasi Kedalam Kelompok (Outgroup) dan Etnosentrisme.
Sumner (DeLamater, 2011) mengamati bahwa orang memiliki kecenderungan mendasar menyukai kelompok mereka sendiri (ingroup) dan menentang kelompok luar (outgroup). Sumner berhipotesis bahwa anggota kelompok yang sangat mengidentifikasi (identifikasi kuat) dirinya dengan kelompok (ingroup) sangat rentan untuk menahan sikap positif terhadap kelompoknya sendiri (ingroup) dan memegang sikap negatif terhadap kelompok lain (outgroup).Istilah Sumner untuk fenomena ini disebut sebagai etnosentrisme, yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu dan lebih unggul dari kelompok luar (outgroup). Etnosentrisme melibatkan perbedaan yang besar yang dimiliki dan bersifat kaku antara kelompok dalam dengan kelompok luar (outgroup). Etnosentrisme memerlukan stereotip citra positif dan sikap yang disukai terkait kelompok dalam (ingroup) yang dikombinasikan dengan stereotip citra negatif dan sikap bermusuhan terkait kelompok luar (outgroup).

Sikap etnosentris tidak hanya menyebabkan anggota dalam kelompok untuk mendevaluasi dan merendahkan anggota kelompok luar, mereka juga (ingroup) juga membuat dan menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi merujuk pada tindakan yang jelas memperlakukan anggota kelompok luar dengan cara yang tidak adil dan merugikan. Dalam keadaan yang melibatkan kompetisi atau oposisi langsung terkait kepentingan antar kelompok, sikap etnosentris seringkali akan menghasilkan tanggapan diskriminatif terhadap kelompok luar(out-group).

Teori Konflik Realistis kelompok (Realistic group-conflict theory)
Teori Realistis kelompok-konflik (Coser, Levine & Campbell, Sherif dalam Bornstein 2003) menyatakan bahwa konflik antarkelompok adalah rasional “dalam arti bahwa kelompok memiliki tujuan atau sasaran yang tidak sebanding dan berada dalam persaingan untuk sumber daya yang langka. Meskipun asumsi ini rasionalitas berkaitan dengan kelompok-kelompok yang bersaing, telah sering diperluas untuk mencakup anggota kelompok individu.Menyimpulkan bahwa jika rasional bagi kelompok untuk bersaing, harus rasional juga bagi individu anggota kelompok untuk melakukan konflik dengan kelompok lain. Gould (Bornstein, 2003) menyatakan bahwa semua anggota kelompok mendapatkan keuntungan jika kelompok bertindak secara kolektif dalam membela kepentingan bersama.

Ada beberapa proposisi dasar teori konflik kelompok yang realistis (DeLamater, 2011):

* Ketika kelompok-kelompoksedangmengejar tujuandi manakeuntunganoleh satu kelompokselalumenghasilkankerugianoleh yang lain, mereka (ingroup) memilikiapa yang disebut sebagai kepentingan bertentangan.
* Oposisi (pertentangan) tersebut menyebabkananggota setiap kelompokmengalamifrustrasi danmengembangkansikapantagonistik (berlawanan) terhadapkelompok lain.
* Sebagai anggotakelompok (ingroup), tiap anggota mengembangkan sikapnegatif danpersepsikurang baik tentanganggota kelompoklainnya, identifikasi mereka pada kelompok menjadilebih kuatdan melekat kuat pada kelompok.
* Ketika solidaritasdan kohesidalamkelompokmeningkat, kemungkinankonflik antar kelompok terbukadanmeningkat, dan bahkan sedikit provokasidapat memicutindakan langsungoleh satu kelompokterhadap kelompok lain.

Resolusi Konflik
Konflik antar kelompok adalah keadaan di mana kelompok-kelompok terlibat dalam tindakan antagonistik satu kelompok dengan kelompok lainnya untuk mengendalikan beberapa hasil akhir yang penting bagi kelompok. Konflik sering diawali perselisihan kecil dan kemudian tumbuh dalam lingkup dan intensitas, dan menarik pada partisipan baru.

Karena konflik antarkelompok merupakan sesuatu yang berpotensi bahaya dan mahal, banyak ahli telah menyelidiki cara menghentikan konflik yang terjadi pada tahap awal, sebelum mereka lepas kendali. Masalah ini secara mengejutkan bersifat kompleks. Seseorang tidak dapat, misalnya, menyelesaikan konflik antarkelompok hanya dengan membalikkan proses yang awalnya menjadi penyebab konflik.

Hal ini sering tidak mungkin untuk menghilangkan oposisi yang mendasari kepentingan, untuk mengurangi identifikasi etnosentris dengan kelompok dalam (in-group), atau untuk mencegah kejadian yang tidak menyenangkan. Namun demikian, peneliti dan praktisi telah mengembangkan berbagai teknik untuk mengurangi atau menyelesaikan konflik antarkelompok. Berikut terdapat empat resolusi konflik yang dapat dilakukan:

Superordinate Goals
Salah satu teknik yang paling efektif untuk menyelesaikan konflik antar kelompok adalah untuk dikembangkan adalah dengan apa yang disebut tujuan atau sasaran superordinate. Tujuan superordinat adalah tujuan yang dilakukan bersama oleh semua kelompok dalam suatu konflik yang tidak dapat dicapai oleh satu kelompok tanpa upaya dukungan kelompok lainnya.

Temuan penelitian mengindikasikan bahwa setelah diperkenalkan, tujuan atau sasaran superordinat dapat mengurangi bias kelompok dalam (in-group) terhadap kelompok luar dan dapat melerai konflik antarkelompok (Bettencourt, Brewer, Croak, & Miller, 1992; Gaertner et al., 1999; Sherif et al., 1961). Dengan memperkenalkan tujuan atau sasaran superordinate ke dalam konflik, tujuan atau sasaran dapat dicapai hanya melalui upaya bersama dari sisi yang berlawanan, mempromosikan perilaku kooperatif dan berfungsi sebagai dasar untukme restrukturisasi hubungan antar kelompok.

Tujuan atau sasaran superordinate menciptakan ketergantungan kooperatif antara in-groupdan out-group. Dengan mengubah situasi permusuhan menang-kalah menjadi salah satu pemecahan masalah kolaboratif, dengan kemungkinan hasil win-win (menang-menang), tujuan superordinat mengurangi gesekan antar kelompok-kelompok.

Intergroup Contact
Teknik lain adalah untuk meningkatkan kontak antar kelompok. Pendekatan ini lebih efektif dalam mengurangi bias dan konflik bila kontak dapat dipertahankan, dekat, berdasarkan status yang sama, dan didukung secara kelembagaan. Beberapa ahli teori telah mengusulkan bahwa peningkatan kontak dan komunikasi antar anggota antar kelompok dapat mengurangi konflik antarkelompok. Peningkatan kontak dapat mengurangi stereotip dan mengurangi bias dan akibatnya mengurangi konflik atau perselisihan antar kelompok.

Beberapa ahli telah memusatkan perhatian mereka pada pengidentifikasikan kondisi di mana kontak antarkelompok mengarah pada penurunan bias dan konflik, dan kondisi di mana tidak dapat menurunkan:

Sustained Close Contact
Kontak antar anggota kelompok yang berbeda lebih cenderung untuk membawa pengurangan dalam prasangka dan konflik jika kontak dipertahankan berkelanjutan serta bersifat lebih personal atau pribadi daripada hanya bersifat singkat dan dangkal. Studi laboratorium menunjukkan bahwa kontak yang melibatkan sesi yang berulang dengan anggota out-grouplebih efektif dalam menurunkan Bias antarkelompok daripada kontak yang melibatkan hanya satu sesi (Wilder & Thompson, 1980).

Tingkat kedekatan atau personalisasi kontak antarkelompok juga akan mempengaruhi sejauh mana sikap akan berubah dan stereotip berkurang. Rendahnya tingkat keintiman akan memiliki sedikit efek pada prasangka dan stereotip antarkelompok (Segal, 1965).

Equal-Status Contact
Kontak antar kelompok lebih mungkin untuk mengurangi prasangka ketika kelompok dalam dan kelompok luar menduduki posisi status yang sama dibandingkan dengan ketika mereka menduduki posisi status yang tidak sama (Riordan, 1978; Robinson & Preston, 1976). Saat status antar kelompok tidak sama, anggota kelompok yang statusnya lebih tinggi dapat menolak untuk menerima pengaruh atau belajar dari kelompok-status yang lebih rendah.Mereka dapat membenarkan hal tersebut untuk diri mereka sendiri dengan alasan bahwa kelompok lain yang statusnya lebih rendah kurang memiliki keterampilan atau pengalaman. Ketika kelompok yang lebih tinggi statusnya tidak mau menerima pengaruh, karena alasan kompetensi yang lebih rendah akan didukung, maka stereotip akan lebih sulit untuk diatasi.

Institutionally Supported Contact
Kontak antar kelompok lebih mungkin dapat mengurangi stereotip dan menciptakan sikap yang disukai jika didukung oleh norma-norma sosial yang mempromosikan kesetaraan antar kelompok-kelompok (Adlerfer, 1982; Cohen, 1980; Williams, 1977). Jika norma-norma mendukung keterbukaan, keramahan, dan saling menghormati, kontak antar kelompok memiliki kesempatan yang lebih besar jika yang didukung oleh kelembagaan (institusi) yang mengatur kontak antarkelompok. Kontak antar kelompok diberi sanksi oleh otoritas luar atau dengan membentuk aturan lebih menghasilkan perubahan positif daripada kontak antar kelompok yang tidak didukung pihak lain (institusi).

Mediation and Third-Party
Perselisihan antar buruh yang terorganisir dengan pihak manajemen atau konflik antara kelompok masyarakat kadang-kadang mudah diselesaikan melalui intervensi (Intervention)dari pihak ketiga, seperti mediator atau arbiter (wasit). Seorang mediator adalah pihak ketiga yang berfungsi sebagai perantara dan yang membantu kelompok-kelompok yang berkonflik untuk mengidentifikasi isu-isu dan membantu antar kelompok untuk sepakati dengan beberapa resolusi. Umumnya mediator merupakan pihak ketiga yang independen.

Mediator umumnya berfungsi sebagai penasihat dan bukan sebagai pengambil keputusan dalam sengketa. Berbeda dengan mediator, arbitrator adalah pihak ketiga yang netral yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan bagaimana konflik akan diselesaikan. Arbitratormendengarkan argumen dari pihak yang bertikai dan kemudian membuat keputusan yang mengikat pada kelompok yang saling bertentangan. Hal Ini berbeda dari mediasi, di mana resolusi mungkin atau mungkin tidak tercapai dan, bahkan jika tercapai, bersifattidak mengikat.

Mediator atau arbiter (wasit) dapat ditemukan dalam kasus perceraian dan klaim kecil pengadilan, negosiasi antara buruh dengan pihak manajemen, masyarakat dengan kawasan lingkungan yang terjadi perselisihan (lingkungan pabrik dan lingkungan masyarakat), dan situasi lain termasuk sengketa internasional. Semakin besar magnitud atau goncangan konflik dan buruknya hubungan dari kedua pihak, meredupkan prospek bahwa mediasi akan terbukti sukses (Carnevale & Pegnetter, 1985; Kressel & Pruitt, 1985).

Konflik yang telah dialami dalam waktu yang lama, yang mencakup berbagai isu yang disengketakan, atau yang membawa pada taktik yang merusak atau kekerasan akan sulit untuk ditengahi (mediasi). Mediasi memiliki kesempatan yang lebih baik sukses ketika masing-masing kelompok yang saling bertentangan mempercayai mediator. Tanpa kepercayaan, mediator akan kesulitan untuk mendapatkan akses kedalam kelompok dan kesulitan untuk melakukan diskusi secara jujur dan terang dengan anggota mereka. Tentu saja, dalam beberapa konflik, orang yang dapat dipercaya oleh semua pihak mungkin sulit untuk ditemukan.

Sekian artikel Universitas Psikologi tentang Pengertian dan Teori Konflik Antar Kelompok Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka
* Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter, D. A. (2001). Peace, Conflict, and Violence: Peace Psychology for the 21st Century. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall
* Sidanius, Jim., Pratto, Felicia., & Laar, Collete Van. (2004). Social Dominance Theory: Its Agenda and Method. International Society of Political Psychology, Vol. 25, No. 6
* Reicher, Stephen. (2004). The Context of Social Identity: Dominance, Resistance, and Change. Political Psychology, Vol. 25, No. 6
* Simmel, G. (1904). The sociology of conflict. I. The American Journal of Sociology, 9(4), .
* Machiavelli, N. 1531 [1970]. The Discourses.
* Condor, Susan, and Rupert Brown. “Psychological processes in intergroup conflict.” The social psychology of intergroup conflict. Springer Berlin Heidelberg, 1988. 3-26.
* Stroebe, W., Arie W. Kruglanski, W. A., Bar-Tal, D., & Hewstone, M. (1988). The Social Psychology of Intergroup Conflict. Theory, Research and Applications. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
* Bornstein, G. (2003). Intergroup Conflict: Individual, Group, and Collective Interests. Personality and Social Psychology Review. Vol. 7, No. 2, 129–145.
* DeLamater, D. J., & Myers, J, D. 2011. Social Psychology:seventh edition. Cengage Learning, Inc.