Blog

Fardhu Fardhu Wudhu

Fardhu – Fardhu (hal – hal yang wajib untuk dilaksanakan) dalam berwudhu ada enam:

1. Niat ketika membasuh wajah.
2. Membasuh wajah.
3. Membasuh kedua tangan hingga kedua siku.
4. Mengusap sebagian kepala.
5. Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki.
6. Tertib (berurutan) dalam mengerjakan hal – hal di atas.

Asal disyariatkannya wudhu dan penjelasan kewajibannya adalah firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Ma’idah 5:6).

(الْمَرَافِقِ) adalah jama’ dari (مِرْفَقُ-siku) yaitu yang menggabungkan antara lengan bawah dengan lengan atas.

(الْكَعْبَيْنِ) yang menunjukkan dua (كعب-mata kaki) yaitu dua tulang yang menonjol di samping pada persendian betis dengan kaki.

Adapun huruf (إِلَى) pada dua tempat di surat al-Ma’idah ayat 6 tersebut bermakna bersama, sehingga kedua siku dan kedua mata kaki masuk dalam dua anggota tubuh yang wajib dibasuh. Hadits yang menunjukkan demikian itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

أنه توضأ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ ثُمَّ يَدَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتُمْ الْغُرُّ الْمُحَجَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ إِسْبَاغِ الْوُضُوءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ فَلْيُطِلْ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيلَهُ

Bahwasanya ia berwudhu, ia membasuh muka dan membaguskannya, kemudian membasuh tangan kanannya hingga sampai lengan, kemudian membasuh tangan kirinya hingga sampai lengan. Setelah itu mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanannya hingga betis, kemudian membasuh kaki kirinya hingga betis. Kemudian ia berkata, “Seperti ini aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu.” Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda: “Kalian pada hari kiamat akan bersinar karena sempurnanya wudhu, maka siapa dari kalian bisa memperpanjang cahaya sinarnya hendaklah ia lakukan.” (HR. Muslim).

Makna (بِرُءُوسِكُمْ) pada surat al-Maidah di atas yaitu sebagian dari kepala. Hadits yang menunjukkan demikian itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya dari al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ

bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu lalu mengusap bagian depan kepalanya, bagian atas surban dan bagian atas kedua khufnya. (HR. Muslim).

(نَاصِيَة) adalah bagian depan kepala dan masih merupakan bagian dari kepala. Cukupnya mengusap sebagian kepala adalah dalil bahwasanya yang difardhukan atau yang diwajibkan adalah mengusap sebagian kepala saja.

Adapun dalil atas wajibnya niat pada permulaan wudhu dan pada setiap ibadah yang diperintahkan untuk berniat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yakni tidak dapat diterima suatu amalan secara syar’i kecuali disertai dengan niat.

Adapun dalil atas wajibnya tertib (berurutan) dalam berwudhu adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa mengerjakan wudhu dengan berurutan. Salah satunya adalah hadits tata cara wudhu yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.

Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam kitabnya yang berjudul al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menyampaikan:

Sahabat – sahabat kami berhujjah dari sunnah dengan hadits – hadits yang shahihah, yang diriwayatkan secara luas dari jama’ah sahabat – sahabat Nabi di dalam meriwayatkan sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaih wasallam. Mereka semuanya meriwayatkan sifat wudhu Nabi adalah tertib (berurutan) bersama dengan banyaknya mereka dan dari berbagai suku bangsa yang menyaksikannya. Banyaknya perbedaan di antara mereka adalah mengenai sifat wudhu Nabi dalam hal membasuh sebanyak sekali, dua kali, tiga kali, dan dalam hal permasalahan lainnya. Tidaklah tetap di dalamnya sifat wudhu selain dilakukan dengan tertib (berurutan). Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan penjelasan bagi tata cara wudhu yang diperintahkan. Apabila boleh untuk tidak tertib dalam mengerjakannya maka niscaya Nabi akan meninggalkannya (wudhu tidak berurutan) pada suatu keadaan untuk memberi penjelasan kebolehan tidak tertib dalam berwudhu sebagaimana beliau meninggalkan pengulangan (membasuh anggota wudhu lebih dari satu kali) pada suatu waktu.

Maraji’:

1. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib. Dr. Musthafa Diib al-Bugha.