Blog

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Pengertian Hadits Sunnah Khabar Dan Atsar

BAB I

PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang sempurna di muka bumi ini, semua sisi kehidupan manusia dan makhluk Allah telah digariskan oleh Islam melalui Kalam Allah swt ( Al Qur’an ) dan Al Hadits. Al Qur’an sudah jelas di tanggung keasliannya oleh Allah swt sampai akhir nanti, bagaimana dengan Al Hadits.

Hadits merupakan salah satu sumber Islam yang utama, tetapi tidak sedikit umat Islam yang belum memahami apa itu hadits. Sehingga dikhawatirkan suatu saat nanti akan terjadi kerancuan dalam hadits, karena tidak mengertinya dan mungkin karena kepentingan sebagian kelompok untuk membenarkan pendapat kelompok tersebut. Sehingga mereka menganggap yang memakai bahasa arab dikatakan al hadits oleh yang tidak bertanggung jawab itu mereka anggap hadits.

Hadits atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan. Dan peran hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh masyarakat mahdzab tidak dapat dinafikan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Hadis, sunnah, khobar dan Atsar?

2. Bagaimana struktur Hadis?

3. Apakah yang dimaksud dengan Sanad, Matan, Mukhraj dan periwayat?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui Hadis, Sunnah, Khobar dan Atsar

2. Untuk mengetahui Struktur Hadis

3. Untuk mengetahui Sanad, Matan, Mukhraj dan PerIwayat

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
1. Definisi Hadits
Hadis dari akar kata di atas memiliki beberapa makna, di antaranya : 1) Al­Jiddah = baru, dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata

​al­qadim =

terdahulu, misalnya : ( ​Alam baru ). ​Alam maksudnya segala sesuatu

selain Allah, ​baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat ​hadits (baru), sedangkan kalam Allah bersifat (terdahulu).

​qadim ​

2) ​Ath­Thari = lunak, lembut dan baru). Misalnya: (​pemuda laki­laki ).

Ibnu Faris mengatakan bahwa hadis dari kata ini karena berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.

3) Al­Khabar = ​berita, pembicaraan dan perkataan, oleh karena itu

ungkapan pemberitaan hadis yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan : ( ), atau

​memberitakan kepada kami ​

sesamanya seperti ​mengkhabarkan kepada kami , dan menceritakan

kepada kami. Hadis ini diartikan sama dengan ​al­khabar dan

an­naba’ . ​

Kata hadis berasal dari bahasa arab, a) al Hadits, hudatsa jamaknya ahadis, hidtsan dan hudtsan. Sedangkan menurut terminologi, hadis diberi pengertian yang berbeda–beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing–masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.

Menurut istilah ahli ushul; pengertian hadis adalah : ﻰﻋﺮﺷ ﻢﻜﺤﻟ ﻼﻴﻟﺩ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺍ ﺢﻠﺼﻳﺎﻤﻣﺮﻳﺮﻘﺗﻭﺍ ﻞﻌﻓﻭﺍ ﻝﻮﻗ ﻦﻣ ﻢﻳﺮﻜﻟﺍ ﻥﺍﺮﻘﻟﺍﺮﻴﻏ ﻡ ﺹ ﻰﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋﺭﺪﺻ ﺎﻣ ﻞﻛ

“Hadis yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara”

Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadis adalah :

ﺐﺟﺍﻮﻟﺍﻻﻭ ﺽﺮﻔﻟﺍ ﺏﺎﺑ ﻦﻣ ﻦﻜﻳ ﻢﻟﻭ ﻡ ﺹ ﻰﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺖﺒﺛﺎﻣ ﻞﻛ “yaitu segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah–masalah fardhu atau wajib”

Para ahli ushul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu ushul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan syara’ saja yang merupakan hadis, selain itu bukan hadis, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian di karenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah swt melalui kitab Al Qur’an. Oleh sebab itu yang terdapat dalam hadis adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’an atau mungkin hanya penjelasannya saja.Sedangkan menurut ulama’ Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :

ﺔﻴﻘﻠﺧ ﻭﺍ ﺔﻴﻘﻠﺧ ﺔﻔﺻﻭﺍﺮﻳﺮﻘﺗﻭﺍ ﻞﻌﻓﻭﺍ ﻝﻮﻗ ﻦﻣ ﻡ ﺹ ﻰﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺮﺛﺍ ﺎﻣ ﻞﻛ “Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat–sifat maupun hal ikhwal Nabi. Menurut jumhur muhadisin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:

ﺎﻫﻮﺤﻧﻭﺍﺍﺮﻳﺮﻘﺗﻭﺍﻼﻌﻓﻭﺍﻻﻮﻗ ﻡ ﺹ ﻰﺒﻨﻠﻟ ﻒﻴﺿﺍﺎﻣ “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”

Perbedaan pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing. Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid dizaman sesudah beliau. Sedangkan ulama Hadis membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi SAW baik yang berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara’ saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri’. Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadis mencakup hal–hal yang lebih luas.

Jadi, Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan,

​taqrir ​ , sifat­sifat, keadaan dan ​himmah

nya.

Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui

Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.

Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya

hadits riwayat Ibnu Abbas :

“Dikala ​

Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan

memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.”

(HR Muslim dan Abu Dawud) Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.

2. Definisi Sunnah
Sunnah menurut bahasa banyak artinya di antaranya : ​suatu

perjalanan yang diikuti ​

, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk.Di samping istilah hadis terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama’ yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukakan pengertiannya agar lebih jelas.

Sunnah dalam kitab Ushul Al hadis adalah sebagai berikut : ﺎﻫﺪﻌﺑﻭﺍ ﺔﺜﻌﺒﻟﺍ ﻞﺒﻗ ﻥﺎﻛ ءﺍﻮﺳ ﺓﺮﻴﺳﻭﺍ ﺔﻴﻘﻠﺧ ﺔﻔﺻﻭﺍ ﺮﻳﺮﻘﺗﻭﺍ ﻞﻌﻓﻭﺍ ﻝﻮﻗ ﻦﻣ ﻡ ﺹ ﻰﺒﻨﻟﺍ ﻦﻋﺮﺛﺍﺎﻣ

“Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perkjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya”

Dalam ​pengertian tersebut tentu ada kesamaan antara hadis dan

sunnah, yang sama–sama bersandar pada Nabi saw, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah sudah jelas segala yang bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal umur 25 tahun dan sebagainya.

Walaupun demikian terdapat perbedaan yang sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya. Sebab keduanya sama–sama bersumber pada Nabi Muhammad saw.

Definisi Sunnah menurut para Ulama’:

Kalangan ahli agama di dalam memberikan pengertian sunnah berbeda­beda, sebab para Ulama’ memandang sunnah dari segi yang berbeda­beda, pun pula dasar membicarakannya dari segi yang berlainan.

1) Ulama Hadits Ulama Hadits memberikan pengertian Sunnah meliputi biografi Nabi, sifat­sifat Nabi baik yang berupa fisik, umpamanya; mengenai tubuhnya, rambutnya dan sebagainya, maupun yang mengenai physic dan akhlak Nabi dalam keadaan sehari­harinya, baik sebelum atau sesudah bi’stah atau di angkat sebagai nabi.

2) Ulama Ushul Fiqh Ulama Ushul Fiqh memberikan pengertian sebagai berikut: “Segala yang di nuklikan dari Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pahutnya dengan Hukum”.

3) Ulama Fiqh Menurut Ulama Fiqh, sunnah ialah “perbuatan yang di lakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Jadi suatu pekerjaan yang utama di kerjakan”. Atau dengan kata lain: sunnah ialah suatu amalan yang di beri pahala apabila di kerjakan, dan tidak dituntut apabila di tinggalkan.

3. Definisi Khabar
Menurut bahasa khabar diartikan = ​berita

. Dari segi istilah

muhadditsin khabar identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang

disandarkan kepada Nabi (baik secara ​marfu’ ​

, ​mawquf ​

, dan ​maqthu’ ​

) baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Di antara ulama memberikan definisi :

Sesuatu yang datang dari Nabi SAW dan dari yang lain seperti dari para sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in atau orang­orang setelahnya.

Mayoritas ulama melihat hadis lebih khusus yang datang dari Nabi, sedang khabar sesuatu yang datang dari padanya dan dari yang lain, termasuk berita­berita umat dahulu, para Nabi, dan lain­lain. Misalnya Nabi Isa berkata : …, Nabi Ibrahim berkata : … dan lain­lain, termasuk khabar bukan hadis. Bahkan pergaulan di antara sesama kita sering terjadi menanyakan khabar. Apa khabar? Dengan demikian khabar lebih umum dari pada hadis dan dapat dikatakan bahwa setiap hadis adalah khabar dan tidak sebaliknya khabar tidak mesti hadis.

Menurut bahasa berarti an­Naba’ (berita­berita), sedang jama’nya adalah Akhbar.

​Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits. Menurut istilah ada tiga pendapat yaitu:

a) Merupakan sinonim bagi hadits, yakni keduanya berarti satu.

b) Berbeda dengan hadits, di mana hadits adalah segala sesuatu yang datang dan Nabi SAW. sedang khabar adalah suatu yang datang dari selain Nabi SAW.

c) Lebih umum dari hadits, yakni bahwa hadits itu hanya yang datang dari Nabi saja, sedang khabar itu segala yang datang baik dari Nabi SAW. maupun yang lainnya.

4. Definisi Atsar

Dari segi bahasa atsar diartikan = ​peninggalan atau bekas

sesuatu , maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena hadis itu ​

peninggalan beliau. Atau diartikan = ( ​yang dipindahkan dari Nabi ),

seperti kalimat : dari kata atsar artinya doa yang disumberkan dari Nabi. Menurut istilah ada dua pendapat, ​pertama , atsar sinonim hadis.

​ Kedua , atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat

( ​mawquf ) dan tabi’in ( ​maqthu’ ) baik perkataan maupun perbuatan.

​ ​ Sebagian ulama mendefinisikan : ​Sesuatu yang datang dari selain Nabi

SAW dan dari para sahabat, tabi ‘in dan atau orang­ ​

. Dengan demikian atsar lebih umum dari pada khabar, karena atsar adakalanya berita yang datang dari Nabi dan dari yang lain, sedangkan khabar adalah berita yang datang dari Nabi atau dari sahabat, sedangkan atsar adalah yang datang dari Nabi, sahabat, dan yang lain. Sebutan seorang ahli hadis = ​Muhaddits

. Untuk memudahkan pemahaman berikut ini dipaparkan resume pembahasan di atas. Berikut ini rangkuman perbedaan antara hadis, sunnah, khabar, dan atsar.

, dan ahli Atsar = ​Atsari ​

, seorang ahli Khabar = ​Khabari ​

, seorang ahli Sunnah = ​Sunni

marfu’ ​

orang ​setelahnya.

membedakannya atsar adalah berita ​mawquf sedang khabar adalah berita

), dan ulama salaf. Sementara ​Fuqahâ Khurrasan

), para sahabat ( ​mawquf ​

. Menurut ahli hadis atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi ( ​marfu’

Sesuatu yang disadarkan pada sahabat disebut berita ​mawquf dan sesuatu yang datang dari tabi’in disebut berita ​maqthu’ ​

Atsar menurut lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.

Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.

Menurut istilah Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar juga hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Dari pengertian menurut istilah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.

Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu. (yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam .

Jadi, atsar merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Contoh Atsar Perkataan Hasan Al­Bashri

​rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:

ُﻪُﺘَﻋَﺪِﺑ ِﻪْﻴَﻠَﻋَﻭ ﱢﻞ َﺻ : ُﻦَﺴَﺤْﻟﺍ َﻝﺎَﻗَﻭ

“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”

B. Struktur Hadits
Secara struktur, hadits terdiri atas tiga komponen, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi hadits), dan mukhraj (rawi). Berikut ini contoh hadits yang memuat

1. Sanad Hadits
Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadits. Dalam hubungan ini dikenal istilah musnid, musnad dan isnad. Musnid adalah orang yang menerangkan hadits dengan menyebutkan sanadnya. Musnad adalah hadits yang seluruh sanadnya disebutkan sampai kepada Nabi SAW (pengertian ini berbeda dengan kitab musnad). Sedangkan isnad adalah keterangan atau penjelasan mengenai sanad hadits atau keterangan mengenai jalan sandaran suatu hadits. Secara harfiah kata sanad berarti sandaran, pegangan (mu’tamad). Sedangkan definisi terminologisnya ada dua sebagai berikut:

1) Mata rantai orang­orang yang menyampaikan matan.

2) Jalan penghubung matan, (yang) nama­nama perawinya tersusun. Jadi, sederet nama­nama yang mengantarkan sebuah hadits itulah yang dinamakan sanad, atau dengan sebutan lain sanad hadist. Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah SAW. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari).

Maka sanad hadits bersangkutan adalah Al­Bukhari >Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW.

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah : ­ Keutuhan sanadnya ­ Jumlahnya ­ Perawi akhirnya Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak

sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits­hadits nabawi.

Selain itu juga terdapat istilah sigat al isnad, yaitu lafal yang terdapat dalam sanad yang digunakan oleh rawi yang menunjukkan tingkat penerimaan dan penyampaian hadits dari rawi tersebut. Ada delapan sigat al isnad sesuai dengan tingkatannya:

1. al sima’ min lafz al sheikh (mendengar dari lafal syekh), contoh: sami’tu (aku mendengar)

2. qira’at ‘ala al sheikh (membaca tulisan syekh), contoh: qara’tu ‘ala (aku membaca)

3. al ijazat, contoh: ajaztu laka Sahih al Bukhari (aku ijinkan untukmu kitab Sahih al Bukhari) 4. al munawalah, contohnya “hadis ini saya terima dari si fulan, maka riwayatkanlah atas namaku” 5. al mukatabah (tulisan), contoh: “si fulan telah menceritakan padaku secara tertulis” 6. al I’lam (pemberiahuan), contoh: “saya telah meriwayatkan hadis ini dari si fulan, maka riwayatkanlah daripadaku” 7. al wasiyat, yakni guru mewasiatkan suatu hadis menjelang ia pergi jauh atau merasa ajalnya sudah dekat, dan 8. al wijadah, yakni rawi memperoleh hadis yang ditulis oleh seorang guru, tetapi tidak dengan jalan sima’i atau ijazah, baik semasa atau tidak, baik berjumpa atau tidak.

2. Matan
Menurut bahasa, matan artinya sesuatu yang tampak, bagian bumi yang keras dan tinggi. Dalam istilah ilmu hadis, matan adalah materi atau redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain.

Secara harfiyah matan berasal dari bahasa Arab matn yang berarti apa saja yang menonjol dari (permukaan) bumi, berarti juga sesuatu yang tampak jelas, menonjol, punggung jalan atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas, matnul­ard berarti lapisan luar/kulit bumi, dan yang berarti kuat/kokoh.

Sedangkan menurut peristilahan Ilmu Hadits, al­Badr bin Jama’ahmemberikan batasan pengertian matan yakni:

● Matan adalah redaksi (kalam) yang berada pada ujung sanad. ● Matan adalah kata­kata (redaksi) hadits yang dapat dipahami

maknanya. Matan hadits juga disebut dengan pembicaraan atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW, sahabat ataupun tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi atau perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi SAW.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matan adalah redaksi atau teks bagi hadist. Dari contoh sebelumnya makamatan hadits bersangkutan ialah:

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang atau tidak).

Tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadits senantiasa berada pada ujung terakhir setelah penyebutan sanad. Kebijakan peletakan itu menunjuk fungsi sanad sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadits dari nara sumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad merupakan media pertanggungjawaban ilmiah bagi asal­usul fakta kesejarahan teks hadits.

Ditinjau dari cara dalam menyampaikan hadits, terdapat beberapa matan hadits, yaitu:

● yang lafal atau setiap katanya persis atau sama dengan lafal pada matan hadits yang lain ● yang antara satu matan hadits dan lainnya hanya terdapat persamaan makna, isi atau tema, sedangkan lafalnya berbeda ● yang antara satu matan hadits dan lainnya saling bertentangan

(berbeda), baik lafal maupun maknanya. Keadaan inilah, antara lain, yang menjadi obyek penelitian para ahli guna memperoleh hadits yang benar­benar bisa dipertanggungjawabkan untuk dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dalam hadits sahih, dari segi matan disyaratkan dua hal, yakni:

a. Tidak ada shadz (bertentangan), artinya isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits lain dari orang yang terpercaya. b. Tidak ada cacat (‘illat), artinya hadits tersebut tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab tersembunyi yang dapat mengurangi kesahihan hadits.

3. Rawi Hadits
Kata berarti orang yang meriwayatkan atau ​Al­rawi ​ memberitahukan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad­sanad hadits pada setiap generasi atau

​thabaqah juga terdiri dari para rawi. Mereka adalah orang­orang yang menerima dan memindahkan hadits dari seorang guru kepada murid­muridnya atau kepada teman­temannya. Kemudian bagi perawi yang terakhir yang menghimpun hadits ke dalam satu kitab ​tadwin disebut dengan perawi atau disebut juga dengan

​mukharrij demikian juga mereka disebut dengan ​mudawwin, karena ia menerangkan para perawi dalam sanad dan derajat hadits tersebut dalam bukunya

Tidak semua perawi yang meriwayatkan hadits dapat diterima ​periwayatannya​. Para ulama telah membuat beberapa

persyaratan agar periwayatan seorang perawi dapat diterima. Ada dua hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadits untuk dapat diketahui apakah riwayat yang dikemukakannya dapat diterima sebagai sebuah hadits yang dapat dijadikan hujjah atau ditolak, yaitu:

1. Adil, keadilan memiliki empat kriteria atau empat unsur yakni beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama dan menjaga muru’ah. Kriteria tersebut berbeda di saat menerima dan menyampaikan hadits. Keempat kriteria tersebut harus terpenuhi disaat periwayat menyampaikan periwayatan hadits. Sedangkan tatkala menerima riwayat, kriteria beragama islam dan mukalaf tidak mesti terpenuhi. Periwayat tatkala menerima hadits riwayat hadits tidak harus beragama Islam dan mukalaf, asalkan dia telah ​mumayyiz atau dapat memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Akan tetapi tatkala menyampaikan riwayat hadits, dia telah memeluk Islam.

2. Dhabith, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertnggungjawabkan. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang dhabith ialah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagai mana seharusnya, dia memahami arti pembicaraan tersebut secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh­sungguh dan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.

Dhabith ada dua: ● Dhabith Shadar, yakni menghafal dengan baik. ● Dhabith Kitab, yakni memelihara kitabnya dengan baik dari

kemasukan sisipan atau yang lain. Dalam periwayatan Hadits ada istilah Muttabi’ dan Syahid,.

1. Muttabi’

Muttabi’ disebut juga At­Thaabi’ menurut bahasa adalah isim fa’il dari taba’a yang artinya mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga, dan sahabat yang meriwayatkan adalah satu.

2. Asy­Syahid Menurut bahasa adalah isim fa’il yang artinya adalah yang menyaksikan. Sedangkan menurut istilah sdalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan biasanya sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan.

Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa­apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya). Seringkali sebuah hadis diriwayatkan oleh bukan hanya satu rawi, akan tetapi oleh banyak rawi. Kritik terhadap periwayatan hadis biasanya mempersoalkan baik dari segi kualitas pribadi atau kelurusan moral (‘adalah) maupun kapasitas intelektualnya (dhabit}). Periwayatan dikategorikan memenuhi segi kualitas pribadi bila telah memenuhi syarat berikut:

● Beragama Islam ● Mukallaf